Retorika adalah suatu gaya/seni berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat
alami (Talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai
kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antar
manusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara secara lancar tampa jalan fikiran yang jelas dan tampa isi, melainkan suatu
kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan
mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat , daya kreasi dan
fantasi yang tinggi ,teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta
penilaian yang tepat. Ber-retorika juga harus dapat dipertanggung jawabakan disertai pemilihan kata dan nada bicara yang sesuai
dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan siapa lawan bicara yang dihadapi.
Titik tolak retorika adalah berbicara.
Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau
sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya memberikan
informasi atau memberi informasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus
pada manusia. Oleh karena itu pembicaraan setua umur bangsa manusia. Bahasa dan
pembicaraan ini muncul, ketika manusia mengucapkan dan menyampaikan pikirannya
kepada manusia lain.
Retorika modern adalah gabungan yang
serasi antara pengetahuan, fikiran , kesenian dan kesanggupan berbicara. Dalam
bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat,
pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata – kata
yang tepat, benar dan mengesankan . ini berarti orang harus dapat berbicara
jelas, singkat dan efektif . jelas supaya mudah dimengerti; singkat untuk
menghemat waktu dan sebagai tanda kepintaran ; dan efektif karena apa gunanya
berbicara kalau tidak membawa efek ? dalam konteks ini sebuah pepatah cina
mengatakan ,”orang yang menembak banyak, belum tentu seorang penembak yang
baik. Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai
bicara.”
Keterampilan dan kesanggupan untuk
menguasai seni berbicara ini dapat dicapai dengan mencontoh para rektor atau
tokoh-tokoh yang terkenal dengan mempelajari dan mempergunakan hukum – hukum
retorika dan dengan melakukan latihan yang teratur. dalam seni berbicara
dituntut juga penguasaan bahan dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa.
DIALEKTIKA,
PUBLIK SPEAKING
Dialektika adalah metode untuk mencari kebenaran lewat diskusi dan debat.
Melalui dialektika yang dimiliki orang dapat menyelami suatu masalah,
mengemukakan pendapat dan menyusun jalan pikiran secara logis.hubungan retorika
dengan dialektika adalah karena diskusi dan debat juga merupakan bagian dari
ilmu retorika.
Public speaking adalah cara berbicara didepan khalayak umum yang sangat
menuntut kelancaran berbicara, control emosi, pemilihan kata dan nada bicara,
kemampuan untuk mengendaliakan suasana, dan juga penguasaan bahan yang akan
dibicarakan. Dalam public speaking juga dibutuhkan penguasaan medan dan
pengenalan terhadap karakter audience yang diajak berbicara dan bahasa juga
menyangkut gaya tubuh yang menunjang materi pembicaraan.
Ilmu retorika, dialektika, dan public speaking secara umum diperlukan oleh semua
orang, tetapi secara khusus sangat diperlukan oleh mereka yang bergerak
dibidang politik, komunikasi dan juga seorang manajer.
Dalam pengaplikasian dari retorika juga sangat diperlukan kemampuan
berfikir secara cepat dan tepat dalam menganalisa perkataan lawan bicara serta
apa yang diperlukan perkataan lawan bicara serta apa yang akan kita bicarakan.
Jika diskusi dilakukan secara berkelompok maka juga akan diperlukan kemampuan
berkoordinasi secara cepat dengan atau tanpa harus melakukan perundingan terlebih
dahulu.
KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI
Bagan
PROSES KOMUNIKASI
Keterangan;
SUMBER : awal dari pesan dengan
pengkodean pikiran.
PENGKODEAN : simbol
yang harus diterjemahkan dalam bentuk yang dapat diterima oleh penerima pesan.
SALURAN : medium
tempat pesan dihantarkan, saluran diseleksi oleh sumber, untuk menentukan
menggunakan seleksi formal atau informal.
DEKODING :
PENERIMA : obyek yang
menjadi tujuan penyampaian pesan.
KOMUNIKASI
·
Tidak ada kelompok atau organisasi yang dapat bertahan tanpa adanya
komunikasi.lewat perpindahan makna dari satu orang ke orang lain,informasi dan
gagasan dapat aplikasikan.
·
Komunikasi bukan hanya penanaman makna tapi juga harus dipahami.
·
Komunikasi harus mencakup perpindahan dan pemahaman makna.
HAMBATAN – HAMBATAN KOMUNIKASI YANG
EFEKTIF.
Ø Penyaringan.
Ø Persepsi selektif
Ø Bahasa.
Ø Informasi yang
berlebihan.
Ø Emosi.
Ø Kegelisahan
komunikasi.
Ø Pembiasan penyampaian.
Retorika Seni Berbicara
Berbicara merupakan alat komunikasi
paling efektif dan efesien. Persoalan berbicara tak dapat dilepaskan sejak
sejarah manusia mulai diperkenalkankan. Bahkan Allah SWT memiliki sifat kalam artinya
Maha Berfirman. Itulah sebabnya Nabi Musa ketika lidahnya kurang begitu fasih
berbicara, maka Allah membimbing dia dengan seubua doa :rabbis rahli shadri
wayassirli amri wahlul uqdatam millisani yafqahu qauli (QS. Thaha (20)
:
Imam al-Akhdlariy menyebutkan
bahwa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa manusia itu
disebut hayawanun nathiqun artinya “binatang yang pandai
berbicara”[1] meskipun secara
etika sepertinya terlalu berana beliau menyebut manusia dengan binatang.
Demikian pula orang-orang yang mampu mengubah sejarah peradaban dunia, mereka
itu pada umumnya sangat piawai dalam mengolah kata dan bermain kalimat. Mulai
dari para filusuf Yunani seperti Socrates, Aristoteles, dan Plato. Sampai
dengan para politikus, dan negarawan seperti Hitler, Musolini, Thomas Aquinas,
Montesqueu, hingga negarawan kita yang cukup mahir dalam berorator seperti Bung
Karno dan Bung Tomo.
Kita juga tentu sering tertegun menyimak
pembicaraan para da’i kondang, seperti KH. Zaenuddin MZ, Aa Gym, Ust. Jepri
Al-Bukhari, dan Ust. Arifin Ilham. Mereka memiliki karakter gaya bicara yang
berbeda dan pendengar akan terlena dalam buaian kata-kata indah mereka.
Kesimpulannnya adalah bahwa berbicara yang baik dan bermakna akan mengandung
kekekuatan spiritual tersendiri.
Berbahasa Indonesia yang baik merupakan
bagian identitas bangsa. Seyogyanya berbicara yang baik dan benar sesuai dengan
kaidah bahasa Indonesia yang baku harus dapat disosialisasikan oleh para publik
figur, selebritis, di negeri ini. Pada era orde baru tampaknya justru yang
merusak kaidah bahasa Indonesia adalah orang nomor satu di Indonesia. Indikasi
“pengrusakkan” kaidah bahasa Indonesia era sekarang kiranya didominasi oleh
bahasa iklan di media masa. Dalam hal ini perlu diadakan aturan main dalam
memproduksi bahasa sebuah iklan, agar tidak merusak tatanan kaidah yang sudah
baku.
Penggunaan bahasa dan isitilah asing
yang diadopsikan ke dalam bahasa Indonesia seharusnya dibatasi. Kalau tidak
bisa disederhanakan oleh si pembicara sebaiknya tidak perlu diucapkan. Akan
tetapi justru gejala ini dibuat sengaja oleh orang-orang yang masih
setengah-setengah mengenyam pendidikan tinggi. Atau demi gengsi-gengsian mereka
berbicara yang sok ilmiah. Ironisnya, justru mereka sendiri
tidak mengerti apa sebenarnya isi pembicaraannya.
Sya’ir-sya’ir lagu, bahasa iklan, bahasa
dialog sinetron/film (dengan tanpa mengurangi kebebasan berekspresi) sebaiknya
selalu memperhatikan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Para calon pejabat dan pemimpin negara
sebaiknya ditatar dulu bagaimana berbahasa Indonesia yang baik. Sehingga tidak
terjadi pemubadziran anggaran negara untuk mengadakan kongres bahasa Indonesia.
Di satu sisi keputusan kongres di keluarkan, di sisi lain pola berbicara para
pejabat masih tetap pada pola lama.
Sepanjang sejarah, kongres bahasa
Indonesia itu sudah sering dilaksanakan. Sehingga yang disebut dengan EYD entah
akan berapa kali lagi akan disempurnakan. Barangkali akan lebih monumental
jika gramatikal bahasa Indonesia itu secara resmi diundangkan.
Dengan segala implikasinya, layaknya sebuah undang-undang (lengkap dengan
sanksi hukum, jika ada penyalahgunaan istilah atau lainnya). Berbeda sekali
dengan gramatikal bahasa Inggris, di mana sejak abad IV sampai sekarang tetap
sama. Demikian pula dengan gramatikal bahasa Arab, sejak al-Qur’an diturunkan
XV abad yang silam, hingga sekarang masih tetap utuh.
Lalu, ada apa dengan tata bahasa
Indonesia ? Mengapa selalu berubah-ubah ?. Hal ini didak lain disebabkan karena
kuatnya pengaruh suhu politik. Contohnya, setiap kali ganti mentri/ kabinet
maka setiap kali ganti istilah. SMP jadi SLTP kembali lagi ke SMP, SMA jadi SMU
kembali lagi ke SMA. Gelar sarjana untuk satu disiplin ilmu yang sama sampai
sangat beragam. Akhirnya masyarakat awam yang dibikin bingung.
Pentingnya Seni Berbicara (Retorika)
Retorika dan Berbicara
Terkadang kita sering tidak sadar seberapa pentinghkah berbicara dalam kehidupan kita. Banyak orang berbicara semaunya, seenaknya tanpa memikirkan apa isi dari pembicaraan mereka tersebut. Sebenarnya berbicara mempunyai artian mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai tujuan tertentu (misalnya memberikan informasi atau memberi motivasi). Tapi sering kali kita mengalami kesulitan dalam mengungkapakan maksud dan isi pikiran kita kepada orang lain. Bahkan sering pula maksud yang kita sampaikan berbeda dengan yang ditangkap oleh pendengar.
Oleh karena itu berbicara sangatlah penting karena yang membedakan manusia dari hewan maupun makhluk lainnya adalah kesanggupan berbicara. Manusia adalah makhluk yang sanggup berkomunikasi lewat bahasa dan berbicara. Tetapi yang lebih mencirikan hakikat manusia sebagai manusia penuh adalah kepandaian dan keterampilan dalam berbicara. Pengetahuan bahasa saja belum cukup! Kebesaran dan kehebatan seseorang sebagai manusia juga ditentukan oleh kepandaiannya dalam berbahasa, oleh keterampilannya dalam mengungkapkan pikiran secara tepat dan meyakinkan. Seni keterampilan berbicara sering disebut dengan Retorika.
Quintilianus, seorang bapak ilmu retorika berkebangsaan Romawi mengatakan, “Hanya orang yang pandai bicara adalah sungguh-sungguh manusia.” Di dalam dunia musik ada lelucon yang berbunyi, “Bermain piano itu tidak sulit! Orang hanya menempatkan jari yang tepat, pada saat yang tepat, di atas tangga nada yang tepat.”
Lelucon dari dunia musik diatas juga dapat dikenakan ke dalam ilmu retorika : ”Berbicara itu sama sekali tidak sulit! Orang hanya harus mengucapkan kata-kata yang tepat, pada saat yang tepat, kepada pendengar yang tepat.”
Memang untuk terampil dalam berbicara tidaklah semudah itu.Untuk menjadi seorang yang pandai bicara, dibutuhkan latihan yang sistematis dan tekun. Sejarah sudah membuktikannya! Orang-orang kenamaan seperti : Demosthenes, Cicero, Napoleon Bonaparte, winston Churchill, Adolf Hitler, J.F Kennedy, Marthin Luther King adalah orang-orang yang menjadi retor terkenal lewat latihan tang teratur, sistematis dan tekun.
Lalu mengapa kita perlu mempelajari retorika ?
Sering orang mengatakan, ”Dia tahu banyak, hanya tidak dapat mengungkapkan dengan baik. Dia tidak dapat mengungkapkan pikirannya secara meyakinkan.” Sangatlah menyedihkan, apabila orang memiliki pengetahuan yang berguna, tetapi tidak dapat mengkomunikasikannya secara mengesankan dan meyakinkan kepada orang lain. Hal tersebut merupakan salah satu contoh mengapa retorika itu perlu.
Jadi apakah sebenarnya retorika itu ??
Retorika berarti kesenian untuk berbicara baik (Kunst, gut zu redden atau Ars bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars, techne). Sekarang ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik , yang dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia.
Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu kemapuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan.
Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian, dan kesanggupan berbicara.
Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang tepat, benar dan mengesankan. Itu berarti kita harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif. Jelas supaya mudah dimengerti; singkat untuk menghemat waktu dan sebagai tanda kepintaran; dan efektif karena apa gunanya kalau berbicara tidak membawa efek?
Dalam konteks ini sebuah pepatah Cina mengatakan, ”Orang yang menembak banyak belum tentu seorang penembak yang baik, dan Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara.”
Alasan untuk mempelajari retorika:
Quintilianus mengatakan : ”Tidak ada anugrah yang lebih indah, yang diberikan oleh para dewa, daripada keluhuran berbicara.”
St. Agustinus, yang juga seorang retor, mengatakan : ”Kepandaian berbicara adalah seni yang mencakup segala-galanya.”
Sebuah pepatah tua mengatakan, ”Berbicaralah, supaya saya dapat melihat dan mengenal anda.”
Martin Luther berpendapat, ”Siapa yang pandai berbicara adalah seorang manusia; sebab berbicara adalah kebijaksanaan; dan kebijaksanaan adalah berbicara.”
Di atas selembar Papirus yang ditemukan di dalam sebuah makam tua di Mesir tertulis, ”Binalah dirimu menjadi seorang ahli pidato, sebab dengan tiu engkau akan menang.”
Lalu mengapa kita perlu belajar retorika? Mengapa kita mau menguasai ilmu pandai bicara?
Di dalam masyarakat umumnya dicari para pemimpin atau orang-orang berpengaruh, yang memiliki kepandaian di dalam hal berbicara. Juga di bidang-bidang lain seperti perindustrian, perekonomian dan bidang sosial, kepandaian berbicara atau keterampilan mempergunakan bahasa secara efektif sangat diandalkan.
Menguasai kesanggupan berbahasa dan keterampilan berbicara menjadi alasan utama keberhasilan orang-orang terkenal di dalam Sejarah Dunia seperti : Demosthenes, Socrates, J. Caesar, St. Agustinus, St. Ambrosius, Martin Luther, Martin Luther King, J.F Kennedy, Soekarno dan lain-lain.
Dalam Sejarah Dunia justru kepandaian berbicara atau berpidato merupakan instrumen utama untuk mempengaruhi massa. Bahasa dipergunakan untuk meyakinkan orang lain. Ketidakmampuan dalam mempergunakan bahasa,membuat ketidakjelasan dalam mengungkapkan masalah atau pikiran dapat membawa dampak negatif dalam hidup dan karya seorang pemimpin. Oleh karena itu, pengetahuan tentang retorika dan ilmu komunikasi yang memadai akan membawa keuntungan bagi pribadi bersangkuatan dalam beberapa bidang tertentu.
Banyak pria dan wanita dalam Sejarah memperoleh suskes besar dalam hidup dan kariernya sebagai pemimpin, berkat penguasaan ilmu retorika. Sebab penguasaan teknik berbicara akan mempertinggi kepercayaan terhadap diri dan memberi rasa pasti kepada orang yang bersangkutan. Bagi para pemimpin, retorika adalah alat penting untuk mempengaruhi dan menguasai manusia. Bagi para penjual, kepandaian berbicara merupakan sarana penting untuk menjual-belikan barang dagangannya.
Barangsiapa yang menguasai ilmu retorika dan mempergunakannya secara wajar akan mendapat sukses dalam hidup dan karyanya !
Retorika (dari bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul 'Grullos' atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis, bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan diatas) dan praktek kontemporer dari retorika yang termasuk analisa atas teks tertulis dan visual.
Dalam doktrin retorika Aristoteles [1] terdapat tiga teknis alat persuasi politik yaitu deliberatif, forensik dandemonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang. Retorika forensik lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika demonstartifmemfokuskan pada epideiktik, wacana memuji atau penistaan dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.
Terkadang kita sering tidak sadar seberapa pentinghkah berbicara dalam kehidupan kita. Banyak orang berbicara semaunya, seenaknya tanpa memikirkan apa isi dari pembicaraan mereka tersebut. Sebenarnya berbicara mempunyai artian mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai tujuan tertentu (misalnya memberikan informasi atau memberi motivasi). Tapi sering kali kita mengalami kesulitan dalam mengungkapakan maksud dan isi pikiran kita kepada orang lain. Bahkan sering pula maksud yang kita sampaikan berbeda dengan yang ditangkap oleh pendengar.
Oleh karena itu berbicara sangatlah penting karena yang membedakan manusia dari hewan maupun makhluk lainnya adalah kesanggupan berbicara. Manusia adalah makhluk yang sanggup berkomunikasi lewat bahasa dan berbicara. Tetapi yang lebih mencirikan hakikat manusia sebagai manusia penuh adalah kepandaian dan keterampilan dalam berbicara. Pengetahuan bahasa saja belum cukup! Kebesaran dan kehebatan seseorang sebagai manusia juga ditentukan oleh kepandaiannya dalam berbahasa, oleh keterampilannya dalam mengungkapkan pikiran secara tepat dan meyakinkan. Seni keterampilan berbicara sering disebut dengan Retorika.
Quintilianus, seorang bapak ilmu retorika berkebangsaan Romawi mengatakan, “Hanya orang yang pandai bicara adalah sungguh-sungguh manusia.” Di dalam dunia musik ada lelucon yang berbunyi, “Bermain piano itu tidak sulit! Orang hanya menempatkan jari yang tepat, pada saat yang tepat, di atas tangga nada yang tepat.”
Lelucon dari dunia musik diatas juga dapat dikenakan ke dalam ilmu retorika : ”Berbicara itu sama sekali tidak sulit! Orang hanya harus mengucapkan kata-kata yang tepat, pada saat yang tepat, kepada pendengar yang tepat.”
Memang untuk terampil dalam berbicara tidaklah semudah itu.Untuk menjadi seorang yang pandai bicara, dibutuhkan latihan yang sistematis dan tekun. Sejarah sudah membuktikannya! Orang-orang kenamaan seperti : Demosthenes, Cicero, Napoleon Bonaparte, winston Churchill, Adolf Hitler, J.F Kennedy, Marthin Luther King adalah orang-orang yang menjadi retor terkenal lewat latihan tang teratur, sistematis dan tekun.
Lalu mengapa kita perlu mempelajari retorika ?
Sering orang mengatakan, ”Dia tahu banyak, hanya tidak dapat mengungkapkan dengan baik. Dia tidak dapat mengungkapkan pikirannya secara meyakinkan.” Sangatlah menyedihkan, apabila orang memiliki pengetahuan yang berguna, tetapi tidak dapat mengkomunikasikannya secara mengesankan dan meyakinkan kepada orang lain. Hal tersebut merupakan salah satu contoh mengapa retorika itu perlu.
Jadi apakah sebenarnya retorika itu ??
Retorika berarti kesenian untuk berbicara baik (Kunst, gut zu redden atau Ars bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars, techne). Sekarang ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik , yang dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia.
Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu kemapuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan.
Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian, dan kesanggupan berbicara.
Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang tepat, benar dan mengesankan. Itu berarti kita harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif. Jelas supaya mudah dimengerti; singkat untuk menghemat waktu dan sebagai tanda kepintaran; dan efektif karena apa gunanya kalau berbicara tidak membawa efek?
Dalam konteks ini sebuah pepatah Cina mengatakan, ”Orang yang menembak banyak belum tentu seorang penembak yang baik, dan Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara.”
Alasan untuk mempelajari retorika:
Quintilianus mengatakan : ”Tidak ada anugrah yang lebih indah, yang diberikan oleh para dewa, daripada keluhuran berbicara.”
St. Agustinus, yang juga seorang retor, mengatakan : ”Kepandaian berbicara adalah seni yang mencakup segala-galanya.”
Sebuah pepatah tua mengatakan, ”Berbicaralah, supaya saya dapat melihat dan mengenal anda.”
Martin Luther berpendapat, ”Siapa yang pandai berbicara adalah seorang manusia; sebab berbicara adalah kebijaksanaan; dan kebijaksanaan adalah berbicara.”
Di atas selembar Papirus yang ditemukan di dalam sebuah makam tua di Mesir tertulis, ”Binalah dirimu menjadi seorang ahli pidato, sebab dengan tiu engkau akan menang.”
Lalu mengapa kita perlu belajar retorika? Mengapa kita mau menguasai ilmu pandai bicara?
Di dalam masyarakat umumnya dicari para pemimpin atau orang-orang berpengaruh, yang memiliki kepandaian di dalam hal berbicara. Juga di bidang-bidang lain seperti perindustrian, perekonomian dan bidang sosial, kepandaian berbicara atau keterampilan mempergunakan bahasa secara efektif sangat diandalkan.
Menguasai kesanggupan berbahasa dan keterampilan berbicara menjadi alasan utama keberhasilan orang-orang terkenal di dalam Sejarah Dunia seperti : Demosthenes, Socrates, J. Caesar, St. Agustinus, St. Ambrosius, Martin Luther, Martin Luther King, J.F Kennedy, Soekarno dan lain-lain.
Dalam Sejarah Dunia justru kepandaian berbicara atau berpidato merupakan instrumen utama untuk mempengaruhi massa. Bahasa dipergunakan untuk meyakinkan orang lain. Ketidakmampuan dalam mempergunakan bahasa,membuat ketidakjelasan dalam mengungkapkan masalah atau pikiran dapat membawa dampak negatif dalam hidup dan karya seorang pemimpin. Oleh karena itu, pengetahuan tentang retorika dan ilmu komunikasi yang memadai akan membawa keuntungan bagi pribadi bersangkuatan dalam beberapa bidang tertentu.
Banyak pria dan wanita dalam Sejarah memperoleh suskes besar dalam hidup dan kariernya sebagai pemimpin, berkat penguasaan ilmu retorika. Sebab penguasaan teknik berbicara akan mempertinggi kepercayaan terhadap diri dan memberi rasa pasti kepada orang yang bersangkutan. Bagi para pemimpin, retorika adalah alat penting untuk mempengaruhi dan menguasai manusia. Bagi para penjual, kepandaian berbicara merupakan sarana penting untuk menjual-belikan barang dagangannya.
Barangsiapa yang menguasai ilmu retorika dan mempergunakannya secara wajar akan mendapat sukses dalam hidup dan karyanya !
Retorika (dari bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul 'Grullos' atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis, bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan diatas) dan praktek kontemporer dari retorika yang termasuk analisa atas teks tertulis dan visual.
Dalam doktrin retorika Aristoteles [1] terdapat tiga teknis alat persuasi politik yaitu deliberatif, forensik dandemonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang. Retorika forensik lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika demonstartifmemfokuskan pada epideiktik, wacana memuji atau penistaan dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.
Aristoteles adalah murid Plato, filsuf
terkenal dari zaman Yunani Kuno. Kala itu, di Yunani dikenal Kaum Sophie yang
mengajarkan cara berbicara atau berorasi kepada orang-orang awam, pengacara,
serta para politisi. Plato sendiri banyak menyindir perilaku Kaum Sophie ini
karena menurutnya orasi yang mereka ajarkan itu miskin teori, dan terkesan
dangkal.
Aristoteles berpendapat bahwa retorika
itu sendiri sebenarnya bersifat netral. Maksudnya adalah orator itu sendiri
bisa memiliki tujuan yang mulia atau justru hanya menyebarkan omongan yang
gombal atau bahkan dusta belaka. Menurutnya,“…by using these justly one
would do the greatest good, and unjustly, the greatest harm” (1991:
35). Aristoteles masih percaya bahwa moralitas adalah yang paling utama dalam
retorika. Akan tetapi dia juga menyatakan bahwa retorika adalah seni. Retorika
yang sukses adalah yang mampu memenuhi dua unsur, yaitu kebijaksanaan (wisdom) dan
kemampuan dalam mengolah kata-kata (eloquence).
Rethoric, salah satu karya
terbesar Aristoteles, banyak dilihat sebagai studi tentang psikologi khalayak
yang sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu membawa retorika menjadi sebuah
ilmu, dengan cara secara sistematis menyelidiki efek dari pembicara, orasi,
serta audiensnya. Orator sendiri dilihat oleh Aristoteles sebagai orang yang
menggunakan pengetahuannya sebagai seni. Jadi, orasi atau retorika adalah seni
berorasi.
Aristoteles melihat fungsi retorika
sebagai komunikasi ‘persuasif’, meskipun dia tidak menyebutkan hal ini secara
tegas. Meskipun begitu, dia menekankan bahwa retorika adalah komunikasi yang
sangat menghindari metode yang kohersif.
Aristoteles kemudian menyebutkan tentang
klasifikasi tiga kondisi audiens dalam studi retorika. Klasifikasi yang pertama
adalah courtroom speaking, yaitu yang dicontohkan dengan situasi
ketika hakim sedang menimbang untuk memutuskan tersangka bersalah atau tidak
bersalah dalam suatu sidang peradilan. Ketika seorang Penuntut dan Pembela
beradu argumentasi dalam persidangan tersebut, maka keduanya telah
melakukan judicial rethoric.
Yang kedua adalah political
speaking, yang bertujuan untuk mempengaruhi legislator atau pemilih untuk
ikut serta dalam pilihan politik tertentu. Debat dalam kampanye termasuk dalam
kategori ini. Sedangkan yang ketiga adalah ceremonial speaking, di
mana yang dilakukan adalah upaya mendapatkan sanjungan atau menyalahkan pihak
lain guna mendapatkan perhatian dari khalayak. Mungkin yang masuk kategori ini
semacam tabligh akbar atau sejenisnya.
Karena muridnya terbiasa dengan
metode dialectic Socrates, yaitu metode diskusi
tanya-jawab, one-on-one discussion, maka Aristoteles menyebutkan
retorika adalah kebalikannya. Retorika adalah diksusi dari satu orang kepada
banyak orang. Jika dialectic adalah upaya untuk mencari
kebenaran, maka retorika mencoba menunjukkan kebenaran yang telah diketemukan
sebelumnya. Dialectic menjawab pertanyaan filosofis yang umum,
retorika hanya fokus pada satu hal saja.Dialectic berurusan dengan
kepastian, sedang retorika berurusan dengan probabilitas (kemungkinan).
Menurutnya, retorika adalah seni untuk mengungkapkan suatu kebenaran kepada
khalayak yang belum yakin sepenuhnya terhadap kebenaran tersebut, dengan cara
yang paling cocok atau sesuai.
Menurut Aristoteles, kualitas persuasi
dari retorika bergantung kepada tiga aspek pembuktian, yaitu logika (logos),
etika (ethos), dan emosional (pathos). Pembuktian logika
berangkat dari argumentasi pembicara atau orator itu sendiri, pembuktian etis
dilihat dari bagaimana karakter dari orator terungkap melalui pesan-pesan yang
disampaikannya dalam orasi, dan pembuktian emosional dapat dirasakan dari
bagaimana transmisi perasaan dari orator mampu tersampaikan kepada khalayaknya.
Aristoteles mengutarakan tentang dua
konsep pembuktian logis (logical proof), yakni enthymeme dan example (contoh).Enthymeme sendiri
adalah semacam silogisme yang belum sempurna. Berikut ini contohnya:
Premis mayor : Semua manusia memiliki
derajat yang sama
Premis minor : Saya adalah manusia
Konklusi : Maka saya memiliki derajat
yang sama
Dalam entymeme, biasanya
hanya menggunakan premis “semua manusia memiliki derajat yang sama dengan
manusia yang lain…..Saya memiliki derajat yang sama”, tanpa perlu menggunakan
premis “saya adalah manusia”.
Entymeme ini digunakan
dengan tujuan agar khalayak menggunakan kerangka logika tertentu, sehingga
mereka semacam diberikan ‘ruang’ untuk menafsirkan premis yang digunakan dalam
silogisme yang dimaksud oleh orator tadi. Dengan memberikan ‘ruang’ tadi pada
dasarnya khalayak digiring untuk menggunakan cara berpikir yang sama dengan apa
yang dipikirkan oleh orator. Sejauh orasi yang digunakan dapat masuk ke dalam
logika khalayak tadi, maka pembuktian logis dari orasi yang dilakukan akan
terasa cukup efektif.
Enthymeme kemudian diperkuat
dengan example atau contoh. Jika enthymeme digunakan
sebagai pembentuk logika atau kerangka berpikir, maka contoh dipakai untuk
memperkuat pembuktian dengan detail contoh-contoh dari pemikiran yang
dimaksudkan sebelumnya.
Pembuktian etis (ethical proof)
menurut Aristoteles berpulang kepada kredibilitas dari orator tersebut.
Retorika yang baik tidak hanya mengandalkan kata-kata yang baik semata,
melainkan bahwa oratornya sendiri juga harus ‘terlihat’ memiliki kredibilitas.
Karena seringkali khalayak sudah cukup terpesona kepada seseorang, bahkan
sebelum orang tersebut berpidato atau berorasi. Sebelum kata-kata keluar dari
mulut orang tersebut.
Dalam Rethoric, Aristoteles
menyebutkan tentang tiga sumber kredibilitas yang baik, yaitu intelligence,
character, dangoodwill.
Intelligence atau kecerdasan
lebih kepada persoalan kebijaksanaan dan kemampuan dalam berbagi nilai atau
kepercayaan antara orator dengan khalayaknya. Maksudnya adalah khalayak
seringkali menilai bahwa orator tersebut ‘cerdas’ adalah sejauh mana mereka
sepakat atau memiliki kesamaan pemikiran, cara berpikir, atau ide dengan orator
tersebut. Orator yang cerdas, oleh karenanya mampu menyesuaikan diri atau mampu
membaca cara berpikir khalayaknya, untuk kemudian disesuaikan dengan cara berpikirnya.
Character lebih kepada
citra orator sebagai orang yang baik dan orang yang jujur. Jika seorang orator
mampu memiliki citra sebagai orang yang baik dan jujur, apapun kata-kata yang
disampaikan dalam orasinya maka khalayak cenderung lebih mudah untuk percaya.
Begitu pula sebaliknya, jika orator yang bersangkutan memiliki citra yang
kurang baik maka sebaik apapun kata-kata yang disampaikannya khalayak sulit
untuk percaya.
Good will atau niat baik,
adalah penilaian positif yang coba ditularkan oleh orator kepada khalayaknya.
Seorang orator mungkin mampu memperlihatkan kecerdasannya, menunjukkan karakter
kepribadiannya, akan tetapi belum tentu mampu ‘menyentuh hati’ khalayaknya.
Niat baik ini biasanya dapat dirasakan oleh hati khalayak.
Pembuktian emosional (emotional proof).
Di sini orator dituntut untuk mampu menyesuaikan suasana emosional yang ingin
dicapai dalam sebuah orasi. Orator yang cerdas mampu mengendalikan suasana
emosi yang diinginkan, bukan apa yang diinginkan khalayak, akan tetapi lebih
kepada apa yang diinginkan oleh orator itu sendiri. Dengan mengetahui
karakteristik khalayak, pemahaman yang mendalam terhadap berbagai macam
karakter emosi, diharapkan retorika yang dilakukan dapat berjalan efektif.
Walaupun banyak ilmuwan menyatakan bahwa
sebenarnya pemikiran Aristoteles tentang retorika itu rumit, mereka kemudian
menyederhanakan pemikiran tersebut ke dalam empat konsep tentang bagaimana
mengukur kualitas seorang orator yang baik. Keempat hal tersebut adalah
bagaimana menciptakan argumentasi (invention), menyusun bahan-bahan atau
materi argumentasi (arrangement), pemilihan bahasa (style), dan
bagaimana teknik penyampaiannya (tecniques of delivery).
Untuk menciptakan argumentasi yang baik,
orator dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas, kemampuan penalaran dan
logika yang baik dalam berbagai macam bentuk pembicaraan. Penguasaan terhadap
berbagai macam topik, isu, informasi, data, dan sejenisnya, dapat dijadikan
sebagai memori yang setiap saat mampu dibentuk menjadi argumentasi ketika orasi
dilakukan. Semakin banyak memori yang dimiliki maka akan semakin mudah untuk
menciptakan argumentasi yang baik.
Aristoteles mengingatkan tentang
pentingnya penyusunan atau pentahapan argumentasi itu sendiri. Menurutnya, pada
awal-awal orasi baiknya adalah sebagai upaya untuk menarik perhatian dari
khalayak, menjaga kredibilitas, dan kemudian memperjelas maksud atau tujuan
dari pembicaraan atau orasi itu sendiri. Yang terakhir adalah konklusi, yang
sebaiknya adalah mengupayakan bagaimana khalayak akan selalu mengingat apa-apa
yang telah kita katakan, dan kita meninggalkan khalayak dengan citra yang
positif tentang diri kita dan ide-ide yang telah kita sampaikan kepada mereka.
Style atau gaya bicara adalah tentang
bagaimana kemapuan seorang orator menggunakan cara atau gaya bicara tertentu.
Gaya bicara ini ibarat karakteristik si orator itu sendiri. Ada orator yang
bagus karena dinilai memiliki gaya orasi yang unik, menarik, dan bukan tentang
kata-kata apa yang disampaikannya.
Style ini juga terkait erat dengan cara
penyampaian kata-kata atau argumentasi kepada khalayak. Cara penyampaian yang
menarik adalah hal yang penting dalam sebuah orasi. Karena seringkali
kefektifan orasi dilihat dari sejauh mana khalayak menilai cara bicara atau
cara orasi orang tersebut menarik atau tidak. Mengenai apa yang disampaikannnya
itu menjadi hal yang berikutnya.
Para pengkritik terhadap teori retorika
Aristoteles ini mengatakan bahwa kesalahan terbesar di sini adalah audiens atau
khalayak dianggap pasif. Orator menurut Aristoteles dianggap akan selalu mampu
menyampaikan apa-apa yang dimaksudkannya kepada khalayak sejauh mereka
mengikuti anjuran-anjuran Aristoteles tersebut. Ada faktor yang penting yang
terlupa oleh Aristoteles, yaitu situasi. Padahal faktor ini adalah salah satu
aspek penting yang perlu diperhatikan dalam praktek retorika itu sendiri.
Di luar itu semua, teori retorika ini memang banyak dinilai memadai jika
dilihat sebagai landasan dalam studi dan praktek retorika. Tentunya seiring
masa perlu dilakukan beragai macam penyesuaian dan semacamnya. Akan tetapi yang
terpenting dari itu semua bahwa retorika atau komunikasi secama umum pada
dasarnya adalah seni, sehingga tidak akan mampu untuk terbakukan dalam
bentuk-bentuk aturan apapun. Seringnya, semuanya berpulang kepada manusia itu
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar