Makalah Dasar-Dasar Ilmu Hadits
Makalah Dasar-Dasar Ilmu Hadits
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna yang
mengatur disegala aspek kehidupan seorang anak manusia. Selain Al-Qur’an, umat
Islam juga memiliki tuntunan lain sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan di
dunia ini, yaitu As-Sunnah (ucapan, perbuatan dan sikap) yang telah diteladani
oleh Rasulullah SAW.
Berangkat dari penjelasan di atas, maka
sangatlah penting bagi umat Islam untuk memahami dan mempelajari hadits
(As-Sunnah) agar dapat menentukan mana hadits yang dapat menjadi landasan hukum
dalam berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ilmu
hadits ?
2. Apa saja yang menjadi
pokok bahasan dalam ilmu hadits ?
3. Bagaimana pembagian ilmu
hadits ?
4. Istilah-istilah dasar
dalam ilmu hadits ?
5. Seperti apa klasifikasi hadits itu
?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa
pengertian ilmu hadits.
2. Untuk dapat mengetahui
apa saja yang menjadi pokok bahasan dalam ilmu hadits.
3. Agar mengerti pembagian
ilmu hadits.
4. Agar dapat menguasai
istilah-istilah dasar dalam ilmu hadits.
5. Untuk mengetahui klasifikasi hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Ilmu hadits
Ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk
mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. Situs
wikipedia menyatakan bahwa makna hadits secara harfiah berarti perkataan atau
percakapan Rasulullah. Dengan demikian ilmu Al-Hadits adalah
ilmu-ilmu tentang perkataan atau percakapan Rasulullah.
Menurut Tengku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, ilmu hadits, yakni ilmu yang berpautan dengan hadits, banyak
ragam macamnya. sedangkan Al-Hadits di kalangan ulama hadits berarti “segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dari perbuatan, perkataan, taqir, atau
sifat”. Hal ini sejalan dengan pengertian hadits yang dikemukakan dalam buku
Musthalahul hadits yang berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), atau sifat.
2.2. Pokok Bahasan Ilmu Hadits
1. Hadits, Khabar, Atsar,
dan Hadits Qudsi
a. Hadits adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir (persetujuan), atau sifat.
b. Khabar semakna dengan
hadits, sehingga memiliki definisi yang sama dengan hadits. Pendapat lain
menyatakan bahwa khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dan
juga kepada selain beliau. Dengan demikian, definisi khabar lebih umum dan
memiliki cakupan yang lebih luas daripada hadits.
c. Atsar adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada seorang shahabat atau tabi’in. terkadang atsar
juga didefinisikan dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi. Namun
penyebutannya harus diberi taqyid (catatan) bahwa hal itu berasal dari beliau
seperti ucapan.
d. Hadits qudsi adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Nabi SAW. dari Allah SWT. Hadits qudsi disebut
juga dengan hadits Rabbani/Ilahi.
Contohnya adalah: Nabi bersabda bahwa Allah berfirman;
Artinya; “Aku menurut persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku
beersamanya ketika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku
mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di kumpulan orang banyak, Aku
mengingatnya di kumpulan orang banyak yang lebih baik dari mereka.”
Kedudukan Hadits Qudsi adalah antara
Al-Qur’an dan Hadits Nabawi (Perbedaan ketiganya dapat diketahui dari
penisbatan lafadz dan makna). Lafadz dan makna Al-Qur’an Al-Karim dinisbatkan
kepada Allah SWT. Sedangkan hadits nabawi, lafadz dan maknanya dinisbatkan
kepada Nabi. Adapun hadits qudsi, hanya maknanya saja yang
dinisbatkan kepada Allah Ta’ala, bukan lafadznya.
Oleh karena itulah, membaca hadits qudsi
tidak terhitung sebagai ibadah, tidak dapat digunakan sebagai bacaan dalam
shalat, tiada tantangan dari Allah kepada orang kafir untuk menandinginya dan
tidak dinukil secara mutawatir sebagaimana Al-Qur’an. Sehingga Hadits qudsi ada
yang berderajat shahih, dha’if, bahkan maudlu’ (palsu).
2. Isnad, Sanad, Matan,
Musnad, Musnid, Muhaddits, Hafiz, Hujjah dan Hakim
a. Isnad.
Isnad secara etimologi berarti
menyadarkan sesuatu kepada yang lain. Sedangkan menurut istilah, isnad berarti
:
“Mengangkat Hadis kepada yang mengatakannya (sumbernya), yaitu
menjelaskan jalan matan dengan meriwayatkan Hadis secara musnad”.
Disamping itu, isnad dapat juga diartikan dengan
“menceritakan jalannya matan”.
b. Sanad dan Matan Hadits
Ø Pengertian Sanad dan
Matan Hadits
Sanad dari segi bahasa artinya sandaran,
tempat bersandar, yang menjadi sandaran. Sedangkan menurut istilah ahli hadits,
sanad berarti silsilah atau jalan yang menyampaikan kepada matan hadits.
Contoh :
“Dikabarkan kepada
kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu
Umar bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang
sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya.”
“Dikabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang
menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda.”
Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan
menurut istilah ahli hadits, matan yaitu; Perkataan yang disebut pada akhir
sanad, yakni sabda Nabi yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.
“Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh
sebagian yang lainnya.”
Ø Kedudukan Sanad dan
Matan Hadits
Para ahli hadits sangat hati-hati dalam
menerima suatu hadits kecuali apabila mengenal dari siapa mereka menerima
setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat
tidak di syaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya.
c. Musnad
Menurut bahasa Musnad adalah
bentuk isim maf’ul dari kata kerja asnada, berarti
sesuatu yang disandarkan kepada yang lain.
Secara terminologi, musnad mengandung
tiga pengertian:
Ø “Hadis yang
bersambung sanad-nya dari perawinya (dalam contoh sanad di atas adalah Bukhari)
sampai kepada akhir sanadnya yang biasanya adalah Sahabat, dan dalam contoh
diatas adalah Anas r.a”.
Ø “Kitab yang
menghimpun Hadis-hadis Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh shahabat,
seperti Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a dan lainnya.
Contohnya, adalah kitab Musnad Imam Ahmad”.
Ø “Sebagai
mashdar (Mashdar mimi) mempunyai arti sama dengan sanad”.
d. Musnid
Kata musnid adalah isim
fa’il dari asnada-yusnidu, yang berarti “orang yang
menyadarkan sesuatu kepada yang lainnya”. Sedangkan pengertiannya dalam istilah
Ilmu Hadis yaitu:
“Musnid adalah setiap perawi hadis yang meriwayatkan Hadis dengan
menyebutkan sanadnya, apakah ia mempunyai pengetahuan tentang sanad tersebut,
atau tidak mempunyai pengetahuan tentang sanad tersebut, tetapi hanya sekadar
meriwayatkan saja”
Kedudukan sanad dalam hadits sangat
penting, hal ini dikarenakan hadits yang diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti
siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits dapat
diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadits yang sahih atau
tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum
Islam.
e. Muhaddits
Yaitu orang yang banyak menghafal hadits
serta mengetahui sifat-sifat orang yang meriwayatkan tentang 'adil dan
kecacatannya.
f. Hafiz
Yaitu orang yang menghafal sebanyak
100,000 hadits dengan isnadnya.
g. Hujjah
Yaitu orang yang menghafal sebanyak 300,000
hadits dengan isnadnya.
h. Hakim
Yaitu orang yang meliputi 'ilmunya dengan
urusannya hadits.
Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat
dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayat (riwayah) dan ilmu hadits dirayat
(dirayah).
1. Ilmu hadits riwayah
ialah ilmu yang membahas perkembangan hadis kepada Sahiburillah, Nabi Muhammad
dari segi kelakuan para perawinya, mengenai kekuatan hapalan dan keadilan
mereka dan dari segi keadaan sanad. Ilmu hadits riwayah ini berkisar pada
bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadits,
bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain dan membukukan hadis dalam suatu
kitab.
2. Ilmu Hadits dirayat
ialah pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayatkan,
untuk mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak. Atau Ilmu Ushulur Riwayah
dan disebut juga dengan Ilmu Musthalah Hadits.
1. Al jarhu wa ta’dil: Pernyataan adanya cela dan cacat, dan per-nyataan adanya “al-Adalah” dan
“hafalan yang bagus” pada seorang rawi hadits.
2. At Ta’dil: Pernyataan adanya “al-Adalah” pada diri seorang rawi.
3. Al Jarhu: Celaan yang dialamatkan pada rawi hadits yang dapat mengganggu (atau
bahkan meng-hilangkan) bobot predikat “al-Adalah” dan “hafalan yang bagus”,
dari dirinya.
4. Tsiqah: Kredibel, di mana pada diri seorang rawi ter-kumpul sifat al-Adalah dan
adh-Dhabt (hafalan yang bagus).
5. Rawi La Ba`sa Bihi: Rawi yang masuk dalam kategori tsiqah.
6. Jayyid: Baik
7. Layyin: Lemah.
8. Majhul: Rawi yang tidak diriwayatkan darinya kecuali oleh seorang.
9. Mubham: Rawi yang tidak diketahui nama (identitas)nya.
10. Mudallis: Rawi yangi melakukan tadlis.
11. Rawi Mastur: Sama dengan Majhul al-Hal (Rawi yang tidak diketahui jati dirinya).
12. Perawi Matruk: Perawi yang dituduh berdusta, atau perawi yang banyak melakukan
kekeliruan, sehingga periwayatanya bertentangan dengan periwayatan perawi yang
tsiqah. Atau perawi yang sering meriwayatkan hadits-hadits yang tidak dikenal
(gharib) dari perawi yang terkenal tsiqah.
13. Rawi Mudhtharib: Rawi yang menyampaikan riwayat secara tidak akurat, di mana riwayat yang
disam-paikannya kepada rawi-rawi di bawahnya berbeda antara yang satu dengan
lainnya, yang menyebabkan tidak dapat ditarjih; riwayat siapa yang mahfuzh
(terjaga).
14. Rawi Mukhtalith: Rawi yang akalnya terganggu, yang menye-babkan hafalannya menjadi campur
aduk dan ucapannya menjadi tidak teratur.
15. Rawi yang tidak dijadikan sebagai hujjah : Rawi yang haditsnya diriwayatkan dan ditulis
tapi haditsnya tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil dan hujjah.
16. Saqith: Tidak berharga karena terlalu lemah (parahnya illat yang ada di
dalamnya).
17. Tadh’if: Pernyataan bahwa hadits atau rawi bersangkutan dha’if (lemah).
18. Tahqiq: Penelitian ilmiah secara seksama tentang suatu hadits, sehingga mencapai
kebenaran yang paling tepat.
19. Tahsin: Pernyataan bahwa hadits bersangkutan ada-lah hasan.
20. Ta’liq: Komentar, atau penjelasan terhadap suatu potongan kalimat, derajat hadits
dan sebagainya yang biasanya berbentuk catatan kaki.
21. Takhrij: Mengeluarkan suatu hadits dari sumber-sum-bernya, berikut memberikan
hukum atasnya; shahih atau dhaif.
22. Syahid: Hadits yang para rawinya ikut serta meriwa-yatkannya bersama para rawi
suatu hadits, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari sahabat yang
berbeda.
23. Syawahid: Hadits-hadits pendukung, jamak dari kata syahid. Haditsnya layak
dalam kapasitas syawahid, artinya, dapat diterima apabila ada hadits lain yang
memperkuatnya, atau sebagai yang me-nguatkan hadits lain yang sederajat
dengannya.
24. Mutaba’ah: Hadits yang para rawinya ikut serta meriwayatkannya bersama para rawi
suatu hadits gharib, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari seorang
sahabat yang sama.
2.5. Klasifikasi Hadits
1. Hadits Qudsi
a. Pengertian Hadis Qudsi
Secara terminologi hadis qudsi adalah hadits yang diriwayatkan kepada kita
dari Nabi SAW yang disandarkan oleh beliau kepada Allah SWT. Atau setiap hadits
yang disandarkan Rasulullah SAW. perkataannya kepada Allah Azza wa Jalla
Definisi tersebut menjelaskan bahwa hadits Qudsi itu adalah perkataan yang bersumber dari Rasulullah SAW, namun disandarkan beliau kepada Allah SWT. tetapi bukanlah Al-Quran.
Definisi tersebut menjelaskan bahwa hadits Qudsi itu adalah perkataan yang bersumber dari Rasulullah SAW, namun disandarkan beliau kepada Allah SWT. tetapi bukanlah Al-Quran.
b. Perbedaan antara Hadits Qudsi dan al-Quran
Antara al-Quran dan Hadits Qudsi terdapat beberapa perbedaan, yaitu :
Ø Al-Quran lafaz dan maknanya berasal dari Allah SWT.
Sedangkan hadis Qudsi maknanya berasal dari Allah SWT, sementara lafaznya dari
Rasulullah SAW.
Ø Al-Quran hukum membacanya adalah ibadah, sedangkan
hadis Qudsi membacanya tidak dihukumi ibadah.
Ø Periwayatan dan keberadaan al-Quran disyaratkan harus
mutawatir, sementra hadis Qudsi periwayatannya tidak disyaratkan mutawatir.
Ø Al-Quran adalah mukjizat dan terpelihara dari
terjadinya perubahan dan pertukaran serta tidak boleh diriwayatkan secara
makna. Sedangkan hadits Qudsi bukanlah mukjizat, dan lafaz serta susunan
kalimatnya bisa saja berubah, karena dimungkinkan untuk diriwayatkan secara
makna.
Ø Al-Quran dibaca di dalam shalat sedangkan hadits qudsi
tidak.
c. Perbedaan antara Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi.
Berdasarkan pengertian dan kriteria yang dimiliki hadits Qudsi, terdapat
perbedaan antara hadis Qudsi dan hadits Nabawi, yaitu; bahwa Hadits Qudsi,
nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Allah SWT, dan Rasulullah berfungsi
sebagai yang menceritakan atau meriwayatkannya dari Allah SWT. Sedangkan Hadis
Nabawi, nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Nabi SAW dan sekaligus
peiwayatannya adalah dari beliau.
2. Hadits Marfu'
a. Pengertian Hadis Marfu'
Hadis Marfu' adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa
perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat.
Dari definisi di atas dapat difahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan
kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat beliau
disebut dengan hadis Marfu'. Orang yang menyandarkan itu boleh jadi Sahabat,
atau selain sahabat. Dengan demikian, sanad dari hadis Marfu' ini bisa
Muthasil, bisa pula Munqathi, Mursal, atau Mu'dhal dan Mu'allaq.
b. Hukum Hadits Marfu'
Hukum hadits marfu' tergantung pada kwalitas dan bersambung atau tidaknya
sanad, sehingga memungkinkan suatu hadits Marfu' itu berstatus shahih, hasan
atau dhaif.
3. Hadits Mauquf
a. Pengertian Hadis Mauquf
Beberapa ulama hadits memberikan terminologi hadits mauquf yaitu segala sesuatu
yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan, perbuatan, atau taqrir
beliau, baik sanadnya muttashil atau munqathi. Sesuatu yang disandarkan kepada
sahabat berupa perkataan, perbuatan, ataupun taqrir beliau.
b. Hadis Mauquf yang berstatus Marfu'.
Diantara hadits mauquf terdapat hadits yang lafadz dan bentuknya mauquf,
namun setelah dicermati hakikatnya bermakna marfu', yaitu berhubungan dengan
Rasul SAW. Hadits yang demikian dinamai oleh para ulama hadits dengan al-mauquf
lafdzhan al-marfu' ma'nan, yaitu secara lafaz berstatus mauquf, namun secara
mkana bersifat marfu'
c. Hukum hadis Mauquf.
Apabila suatu hadis mauquf berstatus hukum marfu sebagaimana yang
dijelaskan diatas, dan berkwalitas shahih atau hasan, maka ststus hukumnyapun
sama dengan hadis marfu itu.
Akan tetapi jika tidak berstatus marfu, maka para ulama hadis berbeda pendapat tentang kehujjahannya.
Akan tetapi jika tidak berstatus marfu, maka para ulama hadis berbeda pendapat tentang kehujjahannya.
4. Hadis Maqthu'
a. Pengertian Hadis Mqthu'
Secara terminology hadis maqthu' yaitu sesuatu yang terhenti (sampai) pada
Tabi’i baik perkataan maupun perbuatan.
Sesuatu yang disandarkan kepada tabi'i atau generasi yang datang sesudahnya
berupa perkataan atau perbuatan.
Hadis Maqthu tidak sama dengan munqhati, karena maqthu adalah sifat dari matan, yaitu berupa perkataan Tabi'in atau Tabi at-Tabi'in, sementara munqathi adalah sifat dari sanad, yaitu terjadinya keterputusan sanad.
Hadis Maqthu tidak sama dengan munqhati, karena maqthu adalah sifat dari matan, yaitu berupa perkataan Tabi'in atau Tabi at-Tabi'in, sementara munqathi adalah sifat dari sanad, yaitu terjadinya keterputusan sanad.
b. Status Hukum Hadis Maqthu'.
Hadits Maqthu' tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil untuk
menetapkan suatu hukum, karena status dari perkataan Tabi'in sama dengan
perkataan Ulama lainnya.
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang
menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi
menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir.
a. Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan
atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
Sedangkan menurut istilah ialah:
"Suatu hasil hadis tanggapan
pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan
mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya: "Hadits mutawatir
ialah hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka
bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga
akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
Ø Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi
tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa
berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau
rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti
tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat)
sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun
rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
Ø Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang
menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
Ø Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat
(lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang
memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban
dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena
persyaratan yang sedemikian ketatnya.
c. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi tiga, yaitu:
Ø Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
1) "Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz
menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya."
2) "Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya
oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi."
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut:
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut:
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
Ø Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah;
"Hadis yang berlainan bunyi
lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna
yang umum."
Jadi, hadits mutawatir maknawi adalah hadits mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadits tersebut, namun terdapat kesamaan dalam maknanya.
Jadi, hadits mutawatir maknawi adalah hadits mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadits tersebut, namun terdapat kesamaan dalam maknanya.
Ø Hadis Mutawatir Amali
Yaitu: "Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu
berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi
melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu."
2. Hadits Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadits, ta’rif hadits ahad antara lain:
Ø "Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya
tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang.
dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah
tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis
mutawatir: "
Ø "Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syarat
mutawatir."
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung kepada tiga
hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal
tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits
menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadits yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang
diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang
rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang
rawi; hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi
tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah
tingkatannya, dan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi
tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya
kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam. Para ulama membagi hadits ahad
dalam tiga tingkatan, yaitu hadits sahih, hadits hasan dan hadits dhaif.
1. Hadits Sahih.
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits
yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadits sahih, yang diberikan
oleh ulama, yaitu "Hadis shahih adalah hadits yang susunan
lafadznya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadits
mutawatir atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."
a. Yang paling tinggi,
ialah yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim (Muttafaq ‘alaih aw ‘ala sihhatihi).
b. Yang diriwayatkan
sendiri oleh Imam al-Bukhari.
c. Yang diriwayatkan
sendiri oleh Muslim.
d. Hadits yang memenuhi
kualifikasi shahih Bukhari dan Muslim.
e. Hadits yang memenuhi
kualifikasi shahih dari Imam al-Bukhari.
f. Hadits yang memenuhi
kualifikasi shahih dari Muslim.
g. Yang dianggap shahih
oleh imam-imam yang lain selain Bukhari dan Muslim.
2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau
baik. Menurut Imam Turmuzi hadits hasan adalah : "Yang kami sebut
hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yang sanadnya baik menurut kami,
yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat
rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan
melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut
hadits hasan."
3. Hadist Dhaif
Hadits dhaif menurut bahasa berarti
hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil atau
rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama
memberi batasan bagi hadits daif yaitu; "Hadits dhaif adalah
hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat hadits hasan.". Pada hadits dhaif itu terdapat
hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut
bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang
dijumpai pada ilmu haditsantara lain:
1. Muttafaq Alaih
(disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadits Bukhari dan
Muslim.
2. As Sab'ah berarti tujuh
perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam
Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam
Nasa'i dan Imam Ibnu Majah.
3. As Sittah maksudnya enam
perawi yakni mereka yang tersebut diatas selain Ahmad bin Hanbal (Imam Ibnu
Majah).
4. Al Khamsah maksudnya
lima perawi yaitu mereka yang tersebut diatas selain Imam Bukhari dan Imam
Muslim.
5. Al Arba'ah maksudnya
empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan
Imam Muslim.
6. Ats Tsalatsah maksudnya
tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam
Muslim dan Ibnu Majah
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik
kesimpulan yaitu, bahwa hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW., baik itu berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun
persetujuannya. Para ulama membagi tingkatan hadits ke dalam beberapa golongan,
seperti hadits qudsi, hadits mutawatir, hadits shahih, hadits hasan, hadits
dhaif dan lain sebagainya.
Selain hal yang kami sebut di atas, ada
hal lain yang harus dipahami dalam mempelajari ilmu hadist, yaitu
istilah-istilah yang ditetapkan para ulama dalam ilmu hadits, seperti; At Ta’dil, Tsiqah,
Rawi La Ba`sa Bihi dan lain sebagainya.
3.2. Saran
Dari runtutan pembahasan mengenai
dasar-dasar ilmu hadits ini kami merekomendaikan beberapa saran yaitu:
1. Kepada seluruh kaum
muslimin untuk terus mendalami sumber hukum umat islam yaitu Al-Qur`an dan
As-Sunnah.
2. Mempelajari ilmu hadits dapat dilakukan dengan mncari referensi-referensi yang terkait ataupun bertalaqqie kepada seorang ahli ilmu (‘ulama atau Ustadz).
DAFTAR PUSTAKA
Shalih Al-Utsaimin. Syeikh Muhammad, 2008. Musthalahul Hadits.
Jogjakarta: Media Hidayah.
As-Shalih, Dr. Subhi. 2002. Membahas Ilmu-ilmu Hadits. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
An-Nawawi, Imam. 2001. Dasar-dasar Ilmu Hadits. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Ahmad, H. Muhammad.
1998. Ulumul hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Ismail, M. S. 1994. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.
Ismail, M. S. 1994. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar